Minggu, 04 Desember 2011

Mayoritas Wanita JepangTak Ingin Hamil

PARA wanita Jepang semula punya siklus lahir, besar, lulus
perguruan tinggi, menikah,
berhenti kerja dan mengurus
anak.

Ini bukannya wanita tidak ingin
berkarier. Masalahnya adalah
setelah melahirkan, gaji mereka--
bahkan yang bekerja di bank--
tidak cukup untuk membayar
baby sitter. Boleh dititip ke tempat penitipan bayi tapi setelah
usianya di atas dua tahun.

Maka, wanita Jepang memilih
mengurus anak, membesarkan
mereka hingga sukses. Soal
berikutnya muncul, anak-anak
yang dibesarkan dengan susah
payah itu semakin sukses semakin jauh dari orang tua.

Usia harapan hidup di Jepang
sangat tinggi, termasuk salah
satu yang tertinggi di dunia. Usia
harapan hidup bahkan di atas 80
tahun. Artinya, setelah pensiun
sebagai karyawan pada usia 65 tahun, orang tua Jepang masih
harus menjalani hidup sekitar 15
tahun dengan menikmati hidup
sebagai pensiunan atas biaya
pemerintah.

Lama-lama, jumlah pensiunan
membengkak, jumlah anggaran
pemerintah kian terbatas.
Walhasil, jumlah tunjangan
pensiunan makin turun. Lalu, orang-orang tua itu hidup di
panti jompo, sementara anak-
anak mereka menikmati
kesuksesan. Para wanita
bertanya: lalu untuk apa punya
anak? Pertanyaan berikut sudah bisa ditebak. Untuk apa menikah?

Pertanyaan tersebut menemukan
jawaban berikut: para wanita
ogah menikah, enggan punya
anak. Mereka memilih karier. Itulah yang terjadi di Jepang saat
ini. Para wanita lebih senang
menghabiskan waktu di kantor,
membangun karier, dan hidup
mandiri. Lama-lama, jumlah wanita lajang
makin meningkat. Dampak
ikutannya, jumlah bayi yang lahir
semakin berkurang.

Datanglah ke Tokyo. Sangat
jarang kita menemukan wanita
hamil atau bayi di tempat-tempat
keramaian. Sebagian besar
pemandangan adalah para wanita
mandiri, yang modis, dan tidak takut ke McD atau resto tengah
malam, seorang diri. Gejala itu mendorong struktur
usia penduduk Jepang makin tua.
Anak-anak masa depan Jepang
makin berkurang jumlahnya.
Seperti piramida terbalik.

Setiap tahun, ada saja taman
kanak-kanak yang tutup karena
kekurangan siswa. Sebaliknya,
panti jompo--yang banyak
mempekerjakan warga Indonesia
dan Filipina--semakin bertambah jumlahnya. Pemerintah yang risau mendorong
para wanita untuk menikah dan
punya anak. Stasiun TV didorong
untuk menayangkan berita-berita
tentang nikmatnya membangun
keluarga. Satu keluarga beranak 10 merupakan berita besar bagi
TV Jepang.

Sambil imbauan itu belum
memperlihatkan hasil, toko-toko
anjing, toko pakaian anjing, dan
tempat penyewaan anjing seperti
Dogy Park di jalan menuju Gunung
Fuji tumbuh subur. Bahkan banyak sekolah khusus untuk anjing. Kenapa begitu? Ya, karena anjing
merupakan kawan favorit para
wanita lajang Jepang. Alangkah
beruntungnya anjing-anjing di
Jepang.

Sumber : http://id.m.yahoo.com/w/ygo-frontpage/lp/story/id/15914/coke.bp%3B_ylt=A2KL8xqxR9tOGiUAfQwp89w4%3B_ylu=X3oDMTFxNGt1NWx0BGNwb3MDMwRjc2VjA21vYmlsZS10ZARpbnRsA2lkBHBrZwNpZC0xNTkxNARwb3MDMQRzbGsDdGh1bWI-?ref_w=frontdoors&view=today&.tsrc=yahoo&.intl=id&.lang=id

0 komentar:

Posting Komentar